A. Kerajaan
Islam di Indonesia
1. Kerajaan
Perlak
Kerajaan Perlak adalah kerajaan Islam tertua di
Indonesia yang berdiri pada tahun 840. Hal ini sesuai dengan bukti sejarah
yaitu naskah-naskah tua berbahasa Melayu, seperti Idharatul Haq fi Mamlakatil
Ferlah Wal Fasi, Kitab Tazkirah Thabakat Jumu Sultan As Salathin, serta
Silsilah sultan-sultan Perlak dan Pasai.
Raja pertama dari kerajaan ini adalah Saiyid Abdul
Aziz yang bergelar Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz Shah (840-964).
Kerajaan ini mengalami masa jaya pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin
Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (1225-1263). Sultan Makhdum Alaidin
Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat mengawinkan putrinya yang bernama
Putri Ganggang Sari (Putri Raihani) dengan Sultan Malikul Saleh dari Samudra
Pasai serta Putri Ratna Kumala dengan Raja Tumasik (Singapura) yakni Iskandar
Syah yang kemudian bergelar Sultan Muhammad Syah.
Raja terakhir Kerajaan Perlak adalah Sultan Makhdum
Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat (1263-1292). Setelah beliau
wafat, Kerajaan Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai oleh Muhammad
Malikul Dhahir putra Sultan Malikul Saleh dengan Putri Ganggang Sari.
Keberadaan
Kerajaan Perlak ini dibuktikan dengan adanya penemuan mata uang Perlak, yang terbuat dari emas (dirham), dari perak
(kupang) dan dari tembaga atau kuningan.
2. Kerajaan
Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai didirikan abad ke-13 oleh
Sultan Malik As Saleh yang terletak di sebelah utara Perlak, Lhok Seumawe
(sekarang pantai timur Aceh), berbatasan langsung dengan Selat Malaka. Setelah
Sultan Malik As Saleh wafat tahun 1297, beliau digantikan putra-putranya,
yaitu: Sultan Muhammad (Sultan Malik al Tahir I) tahun 1297-1326; Sultan Ahmad
(Sultan Malik al Zahir) tahun 1326-1348; Sultan Zainal Abidin tahun 1348.
Bukti keberadaan kerajaan ini yaitu adanya catatan
Ibnu Battuta (Maroko) tahun 1345, yang mencatat bahwa Kerajaan Samudra Pasai
merupakan kerajaan dagang yang makmur. Banyak pedagang dari Jawa, Cina, dan
India yang datang ke sana. Hal ini mengingat letak Samudera Pasai yang
strategis di Selat Malaka. Mata uangnya uang emas yang disebut deureuham
(dirham).
3. Kerajaan
Aceh
Kerajaan Aceh semula merupakan wilayah Kerajaan Pedir.
Kerajaan Aceh berkembang setelah Kerajaan Samudra Pasai mengalami kemunduran
dan Malaka dikuasai oleh Portugis. Atas usaha Sultan Ali Mughayat Syah, Aceh
melepaskan diri dari Kerajaan Pedir. Setelah berkuasa pusat pemerintahannya
dipindah ke Kutaraja (Banda Aceh).
Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Aceh antara
lain: Sultan Ali Mughayat Syah (1513-1528). Kemudian diganti oleh Sultan
Alaudin Riayat Syah (1537-1568). Pada masa pemerintahannya, pernah melakukan
penyerangan terhadap Portugis. Kerajaan Aceh mengalami kemajuan pada saat
pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, hidup
ulama besar yaitu Hamzah Fansuri, Syamsuddin As Sumtrani, Nuruddin Ar Raniri,
dan Abdurrauf. Keempat ulama ini sangat berpengaruh bukan hanya di Aceh tetapi
juga sampai ke Jawa. Pada masa pemerintahannya, Sultan Iskandar Muda
menciptakan buku Undang-undang Hukum Mahkota Alam.
Setelah wafat, Sultan Iskandar Muda digantikan Sultan
Iskandar Thani (1636-1641). Setelah Sultan Iskandar Thani wafat, Kerajaan Aceh
mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan karena tidak ada pemimpin yang mampu
mengendalikan Aceh sepeninggal beliau. Selain itu, banyak daerah yang dikuasai
Aceh melepaskan diri dan terjadinya pertikaian yang terus-menerus.
4. Kerajaan
Demak
Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di
Pulau Jawa yang didirikan oleh Raden Patah atas bantuan para wali. Raden Patah
berkuasa pada tahun 1500-1518 yang bergelar Sultan Alam Akhbar al Fatah. Raden
Patah putra dari
Raja Brawijaya V, raja Majapahit yang dalam
beberapa sumber sejarah disebutkan kemungkinan telah masuk Islam. Demak cepat berkembang
sebagai kerajaan besar karena letaknya yang strategis (di
daerah pantai), sehingga mudah berhubungan dengan dunia luar. Selain itu, Demak mempunyai beberapa pelabuhan seperti Jepara, Tuban, dan Gresik.
Pada masa pemerintahan Raden Patah tepatnya tahun
1513, Demak melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka (ekspedisi militer I) di
bawah pimpinan menantunya seorang
keturunan Persia yang bernama Abdul Qadir bin Muhammad Yunus. Yang karena menjadi
Adipati Jepara diberi gelar Adipati bin Yunus kemudian masyarakat biasa
memanggilnya Pati Unus.
Raja yang memerintah Kerajaan Demak setelah Raden Patah antara lain:
a. Pati Unus
Setelah wafat, Raden Patah digantikan oleh Pati Unus, sesuai dengan wasiat yang diberikan oleh Raden
Patah. Pati Unus berkuasa menggantikan mertuanya hanya tiga tahun
yaitu tahun 1518-1521, karena ia
meninggal dalam memimpin ekspedisi militer II untuk menyerang Portugis,
walaupun ia sudah diangkat menjadi sultan Demak. Pati
Unus dikenal sebagai Pangeran Sabrang Lor, karena jasanya yang melakukan penyerangan terhadap
Portugis di Malaka walau penyerangan tersebut mengalami kegagalan tetapi menimbulkan korban jiwa yang sangat besar
dari pihak Portugis. Setelah Pati Unus wafat, terjadi perebutan kekuasaan antara Raden Kikin
dan Pangeran Trenggana (keduanya putra dari Raden Patah), yang berujung dengan
dibunuhnya Raden Kikin oleh Raden Mukmin di pinggir sungai sehingga beliau
dijuluki Pangeran Sekar Sedo ing Lepen (Pati Unus sebenarnya mempunyai 3 anak
tetapi 2 diantaranya gugur dalam penyerangan ke Malaka dan seorang lagi tidak
kembali ke Demak, karena terjadi perebutan tahta di Demak dan menjadi penasehat
Kesultanan Banten).
b. Sultan
Trenggana
Sultan Trenggana berkuasa dari tahun 1521-1546. Pada
masa pemerintahannya, ia memerintahkan Panglima perangnya yang bernama
Fatahillah guna mengusir Portugis dari Sunda Kelapa, Banten dan Cirebon pada
tahun 1522. Atas prakarsa Fatahillah, nama Sunda Kelapa diubah menjadi
Jayakarta (Jakarta). Sultan Trenggana wafat pada saat penyerangan ke Pasuruan
pada tahun 1546.
Sepeninggalnya, di kerajaan Demak terjadi perebutan kekuasaan lagi. Perselisihan itu timbul antara Arya Penangsang (putra Raden Kikin) dan sultan Demak, Raden Mukmin yang bergelar Sunan
Prawoto (putra Sultan Trenggana). Perselisihan itu
mengakibatkan Sunan Prawoto dibunuh oleh Rangkut orang suruhan
dari Arya Penangsang (anak Pangeran Sekar Sedo ing
Lepen). Setelah naik tahta, kembali
terjadi perebutan kekuasaan sehingga Arya Penangsang meninggal dalam perang dengan pasukan Jaka
Tingkir, Adipati Pajang, (menantu Sultan Trenggana) pada tahun 1568. Jaka
Tingkir menjadi raja tahun 1549-1587, yang bergelar Sultan Hadiwijaya. Kemudian
Sultan Hadiwijaya memindahkan pusat pemerintahan dari Demak ke Pajang.
5. Kerajaan
Pajang
Jaka Tingkir yang bergelar Sultan Hadiwijaya setelah
naik tahta tidak serta merta melupakan para pembantunya yang telah berjasa
dalam membantu mengalahkan Arya Penangsang. Misalnya Ki Ageng Pemanahan
dihadiahi tanah di Mataram (Yogyakarta), setelah wafat kedudukannya digantikan
anaknya yaitu Sutawijaya. Ki Penjawi dihadiahi wilayah di daerah Pati. Bupati
Surabaya diangkat sebagai wakil raja dengan daerah kekuasaan Sedayu, Gresik,
Surabaya, dan Panarukan.
Sultan Hadiwijaya wafat pada tahun 1582, dan
kedudukannya digantikan putranya yakni Pangeran Benawa. Saat Pangeran Benawa
berkuasa, putra Sunan Prawoto yakni Arya Pangiri melakukan pemberontakan. Akan
tetapi pemberontakan itu dapat dipadamkan Pangeran Benawa dengan bantuan
Sutawijaya. Saat berkuasa Pangeran Benawa tidak dapat menggantikan kedudukan
ayahnya dengan baik sebagai raja. Oleh karena itu Pangeran Benawa menyerahkan
tahtanya kepada Sutawijaya yang pada waktu itu menjabat sebagai Adipati
Mataram. Setelah menjabat sebagai raja, pada tahun 1586 Sutawijaya memindahkan
Kerajaan Pajang ke Mataram.
6. Kerajaan
Mataram Islam
Setelah Kerajaan Pajang dipindah ke Mataram oleh
Sutawijaya, maka Mataram menjadi kerajaan sendiri. Sutawijaya menjadi raja
tahun 1586-1601 yang bergelar Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama.
Pada masa pemerintahannya banyak terjadi pemberontakan, seperti pemberontakan
Bupati Madiun, Ponorogo, Demak, Surabaya, Kediri yang ingin memisahkan diri.
Hal ini disebabkan Senopati telah mengangkat dirinya sebagai Raja Mataram.
Padahal, pengangkatan dan pengesahan sebagai raja di wilayah Jawa biasanya
dilakukan oleh wali.
Setelah Panembahan Senopati wafat, kedudukannya
digantikan oleh putranya yaitu Mas Jolang (1601-1613) yang bergelar Sultan
Anyakrawati. Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan, seperti
pemberontakan Pangeran Puger (Demak) tahun 1602-1605 dan Pengeran Jayaraga
(Ponorogo) tahun 1608. Sultan Anyakrawati wafat dalam pertempuran di daerah
Krapyak, sehingga sering dikenal dengan sebutan Pangeran Sedo Ing Krapyak.
Kedudukan Mas Jolang digantikan oleh Mas Rangsang
(1613-1645) yang bergelar Sultan Agung Senopati ing Alogo Ngabdurracham
Kalifatullah. Pada masa pemerintahannya Mataram mengalami zaman keemasan.
Kemajuan dibidang sosial budaya yaitu: lahirnya Undang-Undang Surya Alam,
Penanggalan Jawa (perpaduan antara Tarikh Saka dan Tarikh Hijriyah), dan
beberapa buku karya sastra gending. Sultan Agung pernah melakukan penyerang
terhadap VOC di Batavia pada tahun 1628 dan 1629, akan tetapi penyerangan
tersebut mengalami kegagalan. Sultan Agung dalam menjalankan sistem
pemerintahannya membagi dalam:
1. Kutanegara,
daerah pusat keraton. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh Patih Lebet (Patih
Dalam) yang dibantu Wedana Lebet (Wedana Dalam).
2. Negara
Agung, daerah sekitar Kutanegara. Pelaksanaan pemerintahan dipegang Patih Jawi
(Patih Luar) yang dibantu Wedana Jawi (Wedana Luar).
3. Mancanegara,
daerah di luar negara Agung. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh para
Bupati.
4. Pesisir,
daerah pesisir. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh para Bupati atau
Syahbandar.
Setelah Sultan Agung wafat kedudukannya digantikan
Amangkurat I (1645-1677). Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan yang
dilakukan Trunojoyo dari Madura, hal ini disebabkan Amangkurat I menjalin
hubungan dengan Belanda. Dan pemberontakan itu dapat dipadamkan karena bantuan
Belanda.
Setelah Amangkurat I wafat, kedudukannya digantikan
Amangkurat II (1677-1703). Pada masa pemerintahannya itu wilayah Mataram
semakin sempit, karena diambil oleh Belanda. Sehingga raja-raja yang berkuasa
setelah Amangkurat II tidak mampu menahan pengaruh Belanda yang semakin kuat.
Pada tahun 1755, diadakan Perjanjian Giyanti yang mengakibatkan Mataram
terpecah menjadi dua yaitu:
1. Ngayogyakarta
Hadiningrat yang berpusat di Yogyakarta dengan Raja Mangkubumi yang bergelar
Hamengku Buwono I.
2. Kesuhunan
Surakarta yang berpusat di Surakarta dengan Raja Susuhunan Pakubuwono III.
7. Kerajaan
Cirebon
Dalam salah satu sumber sejarah
peletak dasar-dasar Kerajaan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal
dengan Sunan Gunung Jati. Kemudian setelah beliau wafat kekuasaan Cirebon
diserahkan kepada menantunya yang bernama Fadhulah Khan (dalam aksen Portugis
menjadi Faletehan) yang mana setelah berhasil merebut Sunda Kelapa dari
Portugis diberi gelar Fatahillah yang berarti Kemenangan Allah. Fatahillah sebelumnya adalah abdi dari Kerajaan Demak. Beliau diberi
tugas oleh
Sultan Trenggana di Sunda Kelapa, Banten dan Cirebon untuk mengusir Portugis
dari wilayah tersebut.
Tahun 1679, Cirebon terpaksa dibagi dua yaitu
Kasepuhan dan Kanoman. Waktu itu VOC sudah bercokol kuat di Batavia. Dengan
politik Devide at Impera, Kesultanan Kanoman di bagi dua, yakni Kasultanan
Kanoman dan Kacirebonan. Dengan demikian kekuasaan Cirebon terbagi menjadi 3,
yakni Kasepuhan,
Kanoman, dan Kacirebonan.
8. Kerajaan
Banten
Semenjak menjadi kerajaan merdeka yang terlepas dari
Kerajaan Demak, Kerajaan Banten mengalami kemajuan yang pesat begitu juga dengan
agama Islam. Raja pertama Kerajaan Banten yaitu Sultan Hasanuddin (1552-1570),
putra tertua dari Fatahillah.
Adapun raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan
Banten setelah Sultan Hasanudin yaitu Panembahan Yusuf (1570-1580); Maulana
Muhammad (1580-1596); Abu Mufakhir (1596-1640); Abu Mu’ali Ahmad Rahmatullah
(1640-1651); Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682).
Kerajaan Banten mencapai masa kejayaan di bawah
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa pemerintahannya, terjadi
penyerangan terhadap VOC sebanyak tiga kali. Dengan siasat Devide at Impera,
Sultan Ageng Tirtayasa diadu domba dengan putranya sendiri yaitu Sultan Haji.
Akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa dapat ditangkap dan diasingkan hingga wafat.
Penggantinya, Sultan Haji memiliki kedekatan yang dekat dengan VOC, sehingga
VOC dapat menguasai Banten.
9. Kerajaan
Makassar
Kerajaan Makassar merupakan kerajaan gabungan antara
Kerajaan Gowa dan Tallo dengan ibukotanya di Sombaopu. Raja Gowa, Daeng
Manrabia menjadi Raja Makassar pertama yang bergelar Sultan Alauddin, sementara
Raja Tallo, Kraeng Mantoaya menjadi Perdana Menteri yang bergelar Sultan
Abdullah. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin, agama Islam masuk dan
berkembang di Makassar. Pengganti Sultan Alauddin ialah Sultan Muhammad Said
(1639-1653). Kemudian Sultan Muhammad Said diganti putranya bernama Sultan
Hasanuddin (1653-1669) yang dijuluki Ayam Jantan dari Timur.
Kerajaan Makassar mencapai puncak kejayaan pada masa
pemerintahan Sultan Hasanuddin. Kerajaan Makassar memiliki pelaut-pelaut yang
tangguh terutama dari daerah Bugis. Mereka inilah yang memperkuat barisan
pertahanan laut Makassar. Karena memiliki pelaut-pelaut yang tangguh dan
terletak di pintu masuk jalur perdagangan Indonesia Timur, disusunlah
Ade'Allapialing Bicarana Pabbalri'e, sebuah tata hukum niaga dan perniagaan dari sebuah naskah lontar
yang ditulis oleh Amanna Gappa.
Karena ketakutan Belanda, maka Belanda menyerang
Kerajaan Makassar dengan bantuan Raja Bone yaitu Aru Palaka. Dan akhirnya pada
tahun 1667, Belanda dapat memaksa Sultan Hasanuddin untuk menandatangani
Perjanjian Bongaya. Isi dari Perjanjian Bongaya yaitu: Belanda memperoleh
monopoli dagang rempah-rempah di Makassar; Belanda mendirikan benteng
pertahanan di Makassar; Makassar harus melepaskan daerah kekuasaannya berupa
daerah di luar Makassar; Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone. Kemudian Sultan
Hasanuddin diganti oleh Mapasomba. Tetapi Mapasomba berkuasa tidak terlalu lama
karena adanya pengaruh Belanda yang besar. Akhirnya seluruh Sulawasi Selatan
dapat dikuasai Belanda.
10. Kerajaan
Ternate
Kerajaan Ternate terletak di Maluku Utara dengan
ibukota di Sampalu. Raja pertama Kerajaan Ternate adalah Gapi Buta dan setelah
masuk Islam berganti nama menjadi Zainal Abidin yang berkuasa dari 1486-1500.
Setelah wafat kedudukannya digantikan oleh Sultan Marhum. Kerajaan Ternate
dapat berkembang pesat karena hasil buminya yang berupa rempah-rempah terutama
cengkeh. Kerajaan Ternate mencapai kejayaan pada masa pemerintahan Sultan
Baabullah (1570-1583) di mana kekuasaannya mencapai Filipina.
11. Kerajaan
Tidore
Kerajaan Tidore terletak di sebelah selatan Kerajaan
Ternate. Kerajaan Tidore dan Ternate semula hidup rukun dan damai. Akan tetapi,
ketika Portugis dan Spanyol mulai datang ke Maluku, Ternate dan Tidore saling
bermusuhan karena diadu domba oleh Portugis. Namun akhirnya kedua kerajaan
tersebut bersatu mengusir Portugis. Raja Tidore yang terkenal adalah Sultan
Nuku.
Ketika kerajaan Ternate dan Tidore saling bermusuhan,
muncul dua persekutuan dagang yakni Uli Lima dipimpin oleh Ternate dengan
anggota Ambon, Bacan, Obi, dan Seram. Dan Uli Siwa dipimpin oleh Tidore dengan
anggota Makean, Halmahera, Kai, dan pulau-pulau lain hingga ke Papua bagian
barat.
12. Kerajaan
Banjar
Atas bantuan dari Kerajaan Demak, Pangeran Tumenggung
Samudra dapat menjadi Raja Banjar. Setelah masuk Islam, Pangeran Tumenggung
Samudra berganti nama menjadi Sultan Suryanullah. Selain Sultan Suryanullah,
tokoh yang berperan mengembangkan Islam di wilayah ini diantaranya Datuk Ri
Bandang, Tuan Tunggang Parangan, dan Aji di Langgar. Kerajaan Banjar mencapai
masa kejayaan pada masa pemerintahan Pangeran Antasari yang sangat anti
terhadap penjajahan Belanda.
B. Peninggalan-peninggalan
sejarah bercorak Islam
1. Masjid
Beberapa hal yang menarik dan menjadi corak khas
bangunan masjid-masjid kuno di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Sebagian
besar atap masjid beratap tumpang (atap yang tersusun semakin ke atas semakin
kecil, dan yang paling atas berbentuk limas).
b. Letak
masjid tepat di tengah-tengah kota atau dekat dengan istana dan di kiri atau
kanan masjid terdapat menara sebagai tempat menyerukan panggilan salat (azan).
c. Di sekitar
masjid (kecuali bagian barat) biasanya terdapat tanah lapang (alun-alun).
Ada pun contoh peninggalan masjid masa kerajaan Islam
diantaranya adalah Masjid Kudus, Masjid Demak dan Masjid Banten.
2. Keraton
Keraton merupakan tempat raja beserta keluarganya
tinggal. Keraton dibangun sebagai lambang pusat kekuasaan pemerintahan.
Bangunan keraton biasanya dikelilingi pagar tembok, parit, atau sungai kecil
buatan. Contoh Keraton Samudera Pasai, Banten, Cirebon, dan Mataram.
Keraton dengan corak Islam diantaranya Keraton
Kesultanan Aceh, Demak, Kasepuhan dan Kanoman di Cirebon, Banten, Yogyakarta,
Surakarta, dan sebagainya.
3. Nisan
Nisan adalah tonggak pendek yang ditanam di atas
gundukan tanah yang berfungsi sebagai tanda makam seseorang yang sudah
meninggal dunia. Selain itu nisan juga berisi tentang keterangan-keterangan
atau identitas dan biodata seseorang yang dimakamkan di tempat itu.
4. Karya
sastra dari ulama
Peninggalan karya sastra bercorak Islam di Indonesia
dapat dibagi ke dalam empat kelompok yaitu:
a. Hikayat,
yaitu karya sastra berupa cerita atau dongeng yang menceritakan tentang
kehidupan manusia. Contoh: Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Hang Tuah, Hikayat
Jauhar Manikam, dan sebagainya.
b. Babad,
yaitu cerita sejarah tetapi banyak bercampur dengan mitos dan kepercayaan
masyarakat yang kadang tidak masuk akal. Contoh: Babad Tanah Jawi, Babad
Caruban, Babad Giyanti dan sebagainya.
c. Syair,
yaitu puisi lama yang tiap-tiap baitnya terdiri dari empat baris yang berakhir
dengan bunyi yang sama. Contoh: Syair Perahu, Syair Si Burung Pingai, Syair
Abdul Muluk, dan sebagainya.
d. Suluk,
yaitu kitab-kitab yang membentangkan soal-soal tasawuf. Kitab Suluk merupakan
karya sastra tertua peninggalan kerajaan Islam di nusantara. Contoh: Suluk
Wijil, Suluk Malang Sumirang, Suluk Sukarsa dan sebagainya.
5. Kaligrafi
Kaligrafi adalah seni menulis indah dengan
merangkaikan huruf-huruf Arab, baik berupa ayat-ayat suci Al Qur'an ataupun
kata-kata mutiara. Seni kaligrafi biasanya dituangkan pada masjid atau makam.
Letak bagian masjid yang mendapat ukir-ukiran umumnya hanya pada bagian mimbar.
sumber:
http://dzakibelajar.blogspot.com/2013_07_01_archive.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar